Senin, 11 Juni 2012

GARAM DI GUNUNG (mountain salt) Long midang, KRAYAN [kekayaan alam indonesia]

GARAM DI GUNUNG (mountain salt) Long midang, KRAYAN [kekayaan alam indonesia]




  Pepatah mengatakan garam dilaut dan asam digunung, tapi tidak untuk kampung ane, Long Midang, kec.krayan, kab.nunukan,Kalimantan Timur.
seakan pepatah itu tidak berlaku mengapa karena disana terdapat sumber air asin yang selama ini dijadikan garam yang oleh masyarakat setempat disebut ' Tusu Nado" .
Garam ini memiliki citra rasa dan aroma yang khas. Garam ini sudah dikonsumsi oleh masyarakat Krayan sejak nenek moyang ane sampai sekarang ini.
Bahkan bagi masyarakat sekitar sumur garam air dari sumur ini digunakan untuk memasak sayur/ sajian yang berkuah.

Spoiler for sumurnya garam gunung


Kelebihan dari garam ini dari garam yang biasa terdapat dipasaran yaitu ketika digunakan memasak sayuran hijau,
warna sayur tidak berubah/ tetap berwarna hijau walaupun dimasak dalam jangka waktu yang agak lama.
Makanya jangan harap agan akan menemukan garam-garam pasaran ( garam kota begitu masyarakat menyebutnya) ada didaerah ini. Garam ini ada dua jenis bubuk dan batangan namun dalam citra rasa dan aromanya tetap sama.
Garam ini diproses dengan sangat sederhana yaitu dengan cara memisahkan kadar air dan garamnya dengan cara air asin tersebut dimasak dalam wadah berupa kuali besar sampai airnya mengering dan hanya menyisakan bubuk putih.
Bubuk putih inilah yang disebut Garam Gunung " Tusu Nado" yang berbentuk bubuk. Garam jenis ini biasanya dikemas per 1 kg dalam wadah plastik. garam di jual dengan harga Rp.30rb/kg gan.
Sementara yang batangan diproses dengan cara air garam dimasukan kedalam potongan-potongan bambu lalu dibakar sampai airnya mengering dan menyisakan gumpalan garam yang sudah mengeras yang berbentuk batangan kemudian garam batangan ini dikeluarkan dari bambu tersebut lalu dikemas dalam bungkusan daun.
Proses pengelolahan garam ini tidak pernah berubah gan sejak dahulu sampai sekarang.



Spoiler for proses









Cerita sejarah garam gunung krayan

Pada jaman dahulu, seorang pemburu di daerah Krayan Hilir masuk hutan untuk memburu. Begitu masuk hutan, pemburu menemukan sasarannya yaitu seekor burung yang dinamankan dalam bahas Lun Dayeh burung “bulud.” Burung ini serupa burung merpati tetapi ukurannya dan bobotnya lebih besar. Sebagaimana kebiasaan masyarakat Lun Dayeh, si pemburu menyumpit sasarannya menggunakan anak sumpit yang telah dibalut dengan racun sumpit yang mana bila terkena sasaran akan mati dalam tempo 3-5 menit setelah terkena sumpitan.

Si pemburu menunggu dan mengintai sasarannya dari jauh. Ternyata sasarannya masih mampu terbang dan akhirnya jatuh di daerah rawa-rawa. Setelah sekian lama mencari dalam rawa-rawa tersebut, si pemburu menemukan burung yang disumpit tadi. Setelah didapat, bulu-bulunya dicabut dan dagingnya dicuci dengan air rawa yang sama. Selesai dibersihkan, si pemburu pulang dan membawa hasil buruannya.

Sesampainya di pondok, dagingnya dibakar dan begitu matang langsung dinikmati. Ternyata rasanya berbeda dengan rasa daging burung biasa. Burung yang satu ini lebih nikmat karena ada rasa asinnya. Sambil menikmati, si pemburu berpikir dan mengingat-ingat kembali kejadian-kejadian saat berburu dan si pemburu telah mencuci daging burung dengan air rawa-rawa di mana burung itu jatuh. Tanpa pikir panjang, si pemburu kembali ke rawa-rawa dan mencicipi sedikit air rawa tersebut. Ternyata benar asal rasa asin pada daging burung itu dari air rawa, yang mana di dalam areal rawa tersebut terdapat air asin.

Sejak kejadian itu, masyarakat Krayan yang sebelumnya tidak mengenal garam menggunakan air itu untuk memasak sayur dan daging. Akhirnya mereka berpikir bagaimana caranya agar air ini bisa dibawa ke mana-mana dalam bentuk bukan air. Maka melalui proses yang panjang, mereka mengetahui bagaimana caranya mengolah air ini menjadi garam seperti yang ada sekarang.”

(sumber cerita sejarah: Masyarakat Krayan Hilir dan Staf Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kabupaten Nunukan)

Garam ini diyakini memiliki kandungan yodium yang cukup karena tidak ditemukan masyarakatnya yang menghidap peyakin kekurangan zat yodium (gondok) .
Garam ini sekarang sudah kita pasarkan di negara sebelah daerah Sabah dan Serawak (Mal*ngsia)
karena kedua daerah ini secara geografis lebih dekat dengan Krayan dan mudah dijangkau melalui transportasi darat dibandingkan daerah/ kota lain Indonesia yang terdekat dari Krayan hanya bisa dijangkau dengan transportasi udara/ pesawat.

 Hal inilah yang membuat produk hasil pertanian didaerah Krayan lebih memilih Malaysia sebagai pasarnya daripada pasar dalam negeri sehingga masyarakat Indonesia tidak begitu mengenal produk hasil pertanian di Krayan.
walaupun begitu ane dan orang-orang krayan tetap cinta INDONESIA!


Sumber : http://vekoreoga.blogspot.com/2011/04/garam-gunung-mountain-salt-long-midang.html

Hanya ada di Krayan : “Asam di gunung, garam juga di gunung”

Di Krayan tidak ada istilah : “Asam di gunung, garam di laut”

       Pernah mendengar pepatah tersebut? Asam di gunung, garam di laut. Ternyata tidak melulu seperti itu. Terdapat satu tempat di Propinsi Kalimantan Timur yang justru menghasilkan garam di gunung. Sebagai kawasan yang terkenal dengan julukan The Highland of Borneo, Kecamatan Krayan (Kabupaten Nunukan) memiliki kekayaan sumberdaya alam yang tinggi mulai dari landscape yang unik, kekhasan budaya masayarakat lokal, penghasil beras berkualitas hingga memiliki mata air asin yang berasal dari pegunungan.

Penghasil garam gunung: Desa Long Midang, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur


         Garam gunung oleh masyarakat adat Suku Dayak disebut”Tusu Nado”  yang sudah dikonsumsi sejak jaman nenek moyang mereka hingga saat ini. Menurut cerita seorang yang saya temui di tempat pengolahan garam tersebut, sumber air asin penghasil garam ini ditemukan ketika nenek moyang Suku Dayak Lundayeh sedang berburu di hutan, seekor tupai berhasil di-sumpit (salah satu senjata khas Suku Dayak) dan jatuh ke air, saat tupai tersebut diolah (direbus) untuk kemudian dimakan ternyata rasanya sangat asin tidak seperti biasanya sehingga mereka mencari tahu di lokasi tupai itu jatuh dan ternyata ditemukan sumber air asin. Saat ini sumber air asin tersebut sudah direnovasi menjadi sumur garam.

Sumur sumber air garam

       
          Garam gunung memiliki cita rasa dan aroma yang khas dan memiliki kandungan yodium yang sangat tinggi. Kelebihan garam gunung dibandingkan dengan garam lain yang biasa terdapat dipasaran yaitu tidak mengubah warna hijau sayur walaupun dimasak dalam jangka waktu yang agak lama. Proses pembuatan garam ini sangat sederhana meskipun demikian tetap dibutuhkan ketelatenan untuk mendapatkan garam gunung berkualitas tinggi. Air dari sumur garam dipisahkan dengan kadar garamnya yang ditampung dan dimasak dalam sebuah kuali besar yang terbuat dari drum hingga airnya mengering dan hanya menyisakan bubuk putih garam. Bubuk putih garam ini yang biasanya dikemas per 1 kg dalam wadah plastik. Selain dalam kemasan plastik, tersedia juga garam gunung berbentuk batangan yang berbeda cara pemrosesannya. Tahapan ini yaitu dengan memasukkan air garam kedalam potongan-potongan bambu lalu dibakar sampai airnya mengering dan menyisakan gumpalan garam yang sudah mengeras, kemudian garam batangan ini dikeluarkan dari bambu tersebut lalu dikemas dalam bungkusan daun. Informasi tambahan bahwa dalam waktu dua minggu warga penghasil garam ini mampu memproduksi sebanyak 200 kg garam gunung dengan keuntungan produksi kurang lebih 5 juta rupiah. Oleh karena itu, untuk menjaga keberlangsungan produksi garam gunung sebagai salah satu sumber pendapatan, masyarakat tetap menjaga kelestarian sumber garam dan hutan disekitarnya.

Proses pemisahan air dengan garam dalam kuali (drum)




Proses pemisahan air dengan garam dalam kuali (drum)




Proses pengeringan (penjemuran) garam


Proses pengeringan (penjemuran) garam


Proses pengeringan (penjemuran) garam

         Lokasi keberadaan garam gunung ini terletak di Desa Long Midang (wilayah adat Krayan Hulu), Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan dimana desa tersebut berbatasan langsung dengan Malaysia. Di Malaysia, garam gunung ini sangat diakui kualitasnya dan dijadikan sebagai salah satu rujukan alternatif pengobatan secara tradisional. Secara geografis dan pertimbangan akses transportasi, memang Desa Long Midang (Krayan) ini lebih dekat ke Malaysia dan dapat dengan mudah dijangkau dengan transportasi darat, untuk mencapai wilayah (Indonesia) lain yang terdekat dengan Krayan saja harus menggunakan transportasi udara (pesawat) sehingga tidak mengherankan apabila para pengolah garam ini lebih memilih Malaysia sebagai pasar mereka daripada pasar dalam negeri. Hal ini jugalah yang menyebabkan masyarakat Indonesia banyak yang tidak/belum mengetahui produk garam berkualitas seperti garam gunung di Krayan ini.
Sumber :  http://deliasbaracasa.blogspot.com/2012/01/asam-di-gunung-garam-di-laut.html